PENDIDIKAN - Dalam beberapa tahun terakhir, wacana pelibatan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang semakin mengemuka. Beberapa pihak berpendapat bahwa dunia akademik, dengan sumber daya intelektual dan risetnya, dapat berperan lebih besar dalam mengelola sumber daya alam Indonesia. Namun, di tengah perdebatan ini, ada satu hal yang seharusnya lebih menjadi prioritas utama DPR RI: mengawal anggaran pendidikan sebesar 20?ri APBN agar benar-benar terealisasi secara optimal dan berdampak luas bagi masyarakat.
Anggaran Pendidikan 20%: Komitmen Konstitusi yang Harus Dikawal Ketat
Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20?ri Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, memperluas akses bagi seluruh warga negara, serta memastikan bahwa pembangunan manusia Indonesia dapat bersaing di tingkat global.
Namun, realisasi anggaran pendidikan ini masih menghadapi berbagai tantangan. Dalam praktiknya, tidak semua dana benar-benar dialokasikan untuk kegiatan pendidikan yang esensial, seperti peningkatan kesejahteraan guru, perbaikan infrastruktur sekolah dan kampus, serta pengembangan riset di perguruan tinggi. Tidak jarang, alokasi 20% ini terserap dalam birokrasi yang kurang efektif atau bahkan terbuang dalam program-program yang tidak langsung berdampak pada kualitas pendidikan.
Di sinilah peran DPR RI menjadi sangat penting. Sebagai lembaga legislatif yang memiliki fungsi anggaran, DPR harus memastikan bahwa setiap rupiah yang dialokasikan benar-benar digunakan secara efektif dan efisien. DPR tidak boleh hanya berhenti pada sekadar memastikan bahwa angka 20% terpenuhi dalam dokumen APBN, tetapi juga harus mengawasi implementasi dan dampaknya di lapangan.
Fokus Pendidikan atau Pengelolaan Tambang?
Dalam beberapa waktu terakhir, muncul usulan agar perguruan tinggi dilibatkan dalam pengelolaan tambang. Alasan utama yang diajukan adalah bahwa kampus memiliki keahlian dalam riset dan teknologi yang dapat diterapkan dalam industri pertambangan. Beberapa pihak bahkan menyarankan bahwa universitas negeri bisa memiliki tambang sendiri sebagai bentuk sumber pendapatan alternatif.
Namun, gagasan ini memiliki banyak konsekuensi yang harus dipertimbangkan secara matang. Pertama, tugas utama perguruan tinggi adalah pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, bukan berbisnis dalam sektor ekstraktif. Jika kampus mulai terlibat dalam bisnis pertambangan, ada risiko besar terjadi pergeseran orientasi dari pengembangan ilmu pengetahuan menjadi komersialisasi sumber daya.
Kedua, tambang adalah sektor dengan tingkat risiko yang tinggi, baik dari sisi lingkungan, ekonomi, maupun sosial. Jika perguruan tinggi masuk ke dalam bisnis ini tanpa pengalaman yang cukup, dampak negatifnya bisa sangat besar. Alih-alih memperkaya kampus dengan pendapatan baru, keterlibatan ini bisa justru menjadi beban dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Ketiga, jika tujuan utama adalah memanfaatkan keahlian akademik dalam pengelolaan tambang, solusinya bukanlah menjadikan perguruan tinggi sebagai pelaku bisnis, melainkan memperkuat kolaborasi dengan industri. Misalnya, penelitian dari kampus bisa digunakan untuk mengembangkan teknologi tambang yang lebih ramah lingkungan atau meningkatkan efisiensi produksi, tanpa harus membuat universitas mengelola tambang sendiri.
Prioritas Utama: Memastikan Dana Pendidikan Berdampak Nyata
Daripada berfokus pada urusan pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi, DPR seharusnya lebih giat dalam memastikan bahwa anggaran pendidikan 20?nar-benar memberikan manfaat maksimal. Ada beberapa hal konkret yang bisa dilakukan:
1. Penguatan Pendidikan Vokasi: Salah satu tantangan pendidikan Indonesia adalah kesenjangan antara dunia akademik dan kebutuhan industri. DPR harus mendorong alokasi dana pendidikan untuk memperkuat sekolah vokasi dan politeknik agar lulusan siap kerja dan mampu berkontribusi pada perekonomian nasional.
2. Dukungan untuk Penelitian dan Inovasi: Jika ingin melibatkan kampus dalam sektor pertambangan atau sektor lainnya, solusinya bukan dengan menjadikan universitas sebagai pemilik tambang, tetapi dengan meningkatkan pendanaan untuk riset dan inovasi yang bisa dimanfaatkan oleh industri.
3. Pemerataan Kualitas Pendidikan: DPR harus memastikan bahwa anggaran pendidikan digunakan untuk memperbaiki kesenjangan kualitas pendidikan di berbagai daerah, khususnya di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
4. Meningkatkan Kesejahteraan Guru dan Dosen: Tanpa tenaga pendidik yang sejahtera, sulit bagi sistem pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang kompetitif. DPR harus mengawasi agar anggaran benar-benar dialokasikan untuk peningkatan kesejahteraan guru dan dosen, bukan hanya untuk birokrasi.
Pelibatan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang mungkin terdengar menarik, tetapi bukan prioritas utama yang seharusnya dikejar oleh DPR RI. Lebih penting dari itu adalah memastikan bahwa anggaran pendidikan 20?nar-benar dikelola dengan baik dan memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat. DPR harus fokus dalam mengawal kebijakan pendidikan, memperkuat riset, meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik, dan memastikan akses pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan yang kuat akan menghasilkan sumber daya manusia yang unggul, yang pada akhirnya akan mampu mengelola kekayaan alam Indonesia dengan lebih baik di masa depan. Tanpa pendidikan yang berkualitas, keterlibatan perguruan tinggi dalam sektor tambang hanya akan menjadi wacana tanpa dampak nyata bagi kemajuan bangsa.
Jakarta, 31 Januari 2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi